Bagaimana Nasib Tunisia setelah Tuntasnya 'Pemilu Gaib'?

         Bagaimana Nasib Tunisia setelah Tuntasnya 'Pemilu Gaib'?    Bagaimana Nasib Tunisia setelah Tuntasnya 'Pemilu Gaib'?

Di sepanjang akhir pekan kemarin, Tunisia melangkah kian jenjang dari demokrasi menuju otoritarianisme.

Padahal, negeri Maghrib itu sering dipuji sebagai kisah berkembang Musim Semi Arab 2011, karena memilih demokrasi usai menumbangkan kediktatoran Zine El Abidine Ben Ali.

Tapi optimisme itu meredup ala pemilihan umum legislatif, Minggu (29/1) kemarin, ketika cuma 11,3 persen dari mendekati delapan juta pemilih yang ikut serta, menurut pantauan International Institute for Democracy and Electoral Assistance.

Sejumlah warga sebabnya menyebut pesta demokrasi kali ini jadi "pemilu gaib."

Adalah partai tergede Tunisia, Ennahda, bahwa mengajak partai olokasi dan organisasi masyarakat menjumpai memboikot pemilu. Mereka menyalahkan Persiden Kais Saied bahwa dianggap memberangus kewenangan parlemen.

"Kami melihat kontestasi politik adapun digerakkan Saied oleh Saied ini tidak sah karena tingkat keikutsertaan adapun pendek," kata Imred Khemiri, juru bicara Ennahda kepada DW. "Pemilu ini semakin memperburuk kerumitan," di Tunisia. "Sudah jelas sebagian agam penbersandar menolak haluan ini."

Sejak terpilih pada 2021, Saied secara perlahan mendorong "kudeta konstitusi" bersama sejak itu memerintah secara sepihak medahului dekrit presiden.

Pemilu dalam akhir pekan kalakian sebabnya dianggap bak ujian bagi legitimasi Saied. Tapi murahnya tingkat partisipasi lagi ragam kejanggalan bahwa diungkapkan pemantau asing justru kian meredupkan demokrasi di Tunisia.

Apa yang atas terjadi pada Tunisia?

"Apa yang kita bisa perkirakan dengan jelas merupakan bahwa prospek jangka sekilas bagi Tunisia sangat kelabu, secara ekonomi, politik dengan sosial," kata Monica Marks, Guru Besar Politik Timur Tengah di Universitas New York, Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.

Menurutnya, Saied bagi berdiam antara kekuasaan, setidaknya untuk sejumlah waktu. Tapi perekonomian bagi semakin terpukul, lanjutnya.

Ines Jaibi, seorang pegiat demokrasi dalam Tunisia, sebaliknya bersikap lebih optimis.

Dia meyakini, perkembangan politik hadapan Tunisia justru malah menmepetkan kelompok-kelompok okedudukan. Dia menyontohkan kolaborasi antara serikat buruh terhebat, General Labor Union (UGTT), Liga Hak Asasi Manusia Tunisia, asosiasi pengacara dan partai-partai politik.

"Olokasi demokratis memang masih terpecah-pecah," kata dia. "Tapi, dempet tengah krisis ekonomi, muncul dinamika anyar. Sekarang, kita punya satu tujuan, yaitu menjatuhkan kekuasaan Saied. Olokasi belum mati, malah menguat."

Dihantam krisis ekonomi

Apapun akan terjadi, Tunisia masih harus berjibaku mencegah kebangkrutan. Sejak protes 2011 akan menjatuhkan kediktoturan Ben Ali, seisi negeri mengalami krisis secara bertubi-tubi.

Bank Dunia melaporkan, satu dekade sejak lengsernya Ben Ali, pertumbuhan ekonomi dan aliran kapital investasi asing di Tunisia menurun drastis.

Dampak pandemi COVID-19 terhadap penyumbang devisa berguna sebagai pariwisata, dampak peran dempet Tunisia, inflasi bersama utang luar negeri adapun banter melontarkan situasi memerankan lebih rumit.

Belum lama ini, Tunisia mengalami kelangkaan bahan pokok bagai susu lagi lonjakan harga minyak nabati.

"Tunisia berada ekstra dalam situasi yang tidak nyaman, antara mana sebuah sistem demokrasi lumpuh sejak Juli 2021," kata Murad al-Bakhti, pengbantuan digital berusia 35 tahun. "Ditambah lagi, presiden beserta pemerintahannya belum menyediakan visi yang jelas demi menanggulangi krisis ekonomi."

rzn/hp

Lihat juga video 'Aparat Bentrok demi Pengunjuk Rasa saat Atasi Aksi Protes hadapan Tunisia':

[Gambas:Video 20detik]